Jumat, 26 Mei 2023

Hikmah Kisah Cinta Nabi Ya’qub dan Nabi Ibrahim ‘Alaihimassalaam

 Ada sebuah kutipan menarik dalam buku Tere Liye yang berjudul #AboutLove, 

“Kau tahu, hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus engkau melepaskannya. Percayalah, jika memang itu cinta sejatimu, tidak peduli aral melintang, ia akan kembali sendiri padamu. Banyak sekali pecinta di dunia ini yang melupakan kebijaksanaan sesederhana itu. Malah sebaliknya, berbual bilang cinta, namun dia menggenggamnya erat-erat.”

Kutipan ini mengingatkan saya pada sebuah pelajaran berharga yang saya serap dari kisah Nabi Ibrahim a.s. dengan anaknya Isma’il a.s. dan kisah Nabi Ya’qub a.s. dengan anaknya Yusuf a.s.

Masyhur kita ketahui tentang kisah Nabi Yusuf a.s. yang ditakdirkan Allah untuk membina Negeri Mesir menuju ajaran Tauhid. Sebab itu Nabi Yusuf a.s. dipisahkan dari ayahnya dengan cara yang menyakitkan dalam waktu yang sangat panjang. Allah adakan sebab-sebab yang memisahkan beliau dengan ayahnya selama puluhan tahun. Tidak berhenti sampai di sana, puluhan tahun setelah ‘hilangnya’ Nabi Yusuf a.s., Nabi Ya’qub a.s. kembali menerima ujian dari Allah dengan tertahannya Benyamin di Mesir saat mengambil gandum pada masa paceklik. Hari-hari dilalui oleh Nabi Ya’qub a.s. dengan tangisan kerinduan pada dua putranya yang menyayat hati, bahkan hingga membutakan kedua matanya.

Hingga pada suatu waktu, Nabi Ya’qub a.s. menyadari akan bagaimana semestinya cinta. Beliau menyadari tentang Allah yang Mahapencemburu, bahwa tidak boleh ada cinta yang melebihi cinta kepada-Nya. Maka ketika Nabi Ya’qub ikhlas melepas, Allah hadiahkan pertemuan kembali dengan putra-putra tercintanya.

Hal serupa dialami oleh Nabi Ibrahim, ketika sampai wahyu kepada beliau untuk menyembelih putra yang dinanti-nantikannya selama bertahun-tahun. Singkat cerita, setelah berdiskusi dengan Nabi Isma’il, Nabi Ibrahim berikut Nabi Isma’il bersama-sama ikhlas untuk menjalankan perintah Allah tersebut.

Keikhlasan berbuah kebahagiaan, ketika Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il telah rida untuk menjalankan perintah Allah tersebut, Allah ganti perintah tersebut dengan penyembelihan hewan qurban. Allah kembalikan Isma’il kepada Ibrahim a.s.

Demikianlah semestinya al-hubb, yang hanya bermuara pada cinta kepada Allah. Jikapun ada cinta yang lain, maka semestinya ia hanyalah manifestasi dari cinta kepada-Nya. Ketika segala sesuatu telah disandarkan hanya kepada Allah, diniatkan ikhlas hanya karena Allah, maka tidak akan ada yang akan didapatkan kecuali kebaikan.

Share:

Minggu, 13 Maret 2022

Selamat Milad, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ke-58


Sekitar lima tahun yang lalu, pasca Milad IMM ke-53, hati saya tergerak untuk bergabung. Lebih tepatnya, waktu itu adalah masa-masa screening organisasi-organisasi mahasiswa Islam untuk diikuti. Memang saya agak selektif, karena satu dan lain hal. Hingga IMM yang akhirnya menjadi pilihan, bukan karena “isi” nya. Hanya karena ini Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Haha. Tak usah terlalu kita rincikan, panjang nanti.

Saya yang terlahir dari keluarga warga Muhammadiyah diajarkan dan dikenalkan tentang Muhammadiyah sejak kecil. Meski di antara keluarga, yang terakhir masuk struktural hanya almarhumah Nenek, anggota Aisyiyah Cabang Banjarmasin 9. Lima anak beliau, termasuk ayah saya, tidak ada satupun yang masuk struktural Muhammadiyah maupun ortom. Tapi amaliyah keluarga, amaliyah Muhammadiyah.

Hingga, proses belajar melahirkan sisi yang berbeda dari kebiasaan saya. Sebagian keluarga curiga, jangan-jangan Hanumna ikut organisasi/gerakan Islam yang beda ideologi dengan Muhammadiyah. Saya rasa, umumnya keluarga tidak melarang, karena –alhamdulillah- mereka sepakat tentang keluasan ilmu, berikut luasnya tempat belajarnya. Tapi tetap juga ditanya, diwanti-wanti, dan sebagian memang ada yang anu. Wkwk.

Inilah alasan paling kuat saya memilih IMM. Untuk menenangkan keluarga.

Bahwa anak mereka, Hanumna Sabila, masihlah Muhammadiyah.

 

Bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

DAD 10 IAIN Antasari Banjarmasin, adalah pintu masuk saya menuju IMM. Meski IMM menjadi pilihan dan saya berkenan ikut perkaderan awalnya, bukan berarti saya pasrah dan jamin bertahan di IMM. Screening tetap saya lakukan, tepatkah saya memilih tempat?

Dan, maa syaa Allah, DAD 10 IAIN Antasari berhasil membuka satu tempat di hati saya untuk IMM. Demikian pula LMD PC IMM Kota Banjarmasin yang saya ikuti beberapa waktu kemudian. Semakin meluaskan tempat di hati saya untuk IMM.

IMM mengenalkan saya akan Muhamadiyah, ortom—yang saya tidak pernah tahu bahwa Muhammadiyah punya eksponen dalam berbagai bidang/bagian. Eksponen pelajar, kepanduan, pencak silat, pemuda, pemudi, semuanya ada. Terbit rasa sesal, ke mana saya saat mencari organisasi ketika masih menjadi pelajar?! IPM ada, tapak suci, juga HW, ada, tepat di depan kediaman saya, tapi saya tak tahu.

Tapi, begitulah. Allah memilihkan jalan yang lebih baik untuk saya menemukan organisasi Muhammadiyah.

Dari IMM juga saya baru lebih mengerti tentang dasar-dasar gerakan Muhammadiyah, spirit  yang mendasarinya, tujuan utamanya,, ketika dulu yang saya tahu hanya Muhammadiyah tidak ber-qunut subuh, Muhammadiyah menggunakan hisab dalam penetapan waktu ibadah, Muhammadiyah tidak tahlilan, tidak yasinan, tidak muludan, tarawihnya 11 rakaat, dan lain sebagainya. Saya benar-benar awwam di Muhammadiyah, sampai Allah takdirkan saya untuk bergabung dengan IMM.

 

Kenyataaan

Seiring berjalannya waktu, saya menemukan hal-hal yang tidak sesuai harapan dalam IMM. Tapi saya sadar, ini bukan sebab IMM itu sendiri. Sebab itu adalah kami, kader-kadernya. Ada yang perlu kami benahi, agar wadah ini terisi dengan yang semestinya. Dengan yang berkesesuaian dengan tujuan luhurnya.

 

Akademisi Islam yang Berakhlak Mulia.

Sungguh sederhana, namun tidak sesederhana itu perjuangan menujunya.

Bismillah ya,

IMM Jaya.

Share:

Kamis, 19 Agustus 2021

Get Lost! Menuju Wisata Batu Laki

“Alabio yok Ahad ini, kawinan kawanku di pondok.” –Aulia. Kamis, 13 Agustus 2021

Sempat kami mengira bahwa Agustus 2021 akan berlalu tanpa tadabbur alam. Namun, undangan walimatul ‘ursy dari alumni Ponpes Nurul Amin, Alabio selalu diprioritaskan oleh kawanku itu. Dan siapa lagi yang akan dimintanya untuk menemani kalau bukan aku.

Pas, bulan ini kami belum menunaikan kebiasaan refreshing. Menjelajahi sedikit demi sedikit tanah Banua, Kalimantan Selatan. Pelaihari, Kab. Tanah Laut dan Mandiangin, Kab. Banjar tak berkenan dikunjungi. PPKM berlapis yang tak menunjukkan tanda-tanda akan usai menjadi sebab. Sekalian untuk ke walimah, banua anam mungkin menawarkan solusi.

Wisata Batu Laki, Kandangan, Kab. Hulu Sungai Selatan menjadi pilihan. Meski sebenarnya gunung/perbukitan dengan pemandangan hijaunya lebih kusukai, tapi kawanku ini menolak jika harus mendaki.

Menuju Desa Batu Laki, seperti biasa, kami dibantu Mbak Google. Selama ini kami selalu akur. Aku, kawanku, dan Mbak Google. Tapi tidak untuk Ahad tadi. Tawa dalam ratusan kilometer perjalanan kami berakhir seketika nahas menimpa.

Aku mengemudi. Biasanya, aku turut memantau Mbak Google dengan perangkatku sendiri, meski Gmaps kawanku itu juga aktif. Tapi, tidak untuk kali ini. Gawaiku sibuk sendiri sepanjang perjalanan setelah tersambung aux. Ini menjadi masalah awal.

Biasanya juga, meski sudah ditemani Mbak Google, kami juga bertanya kepada Mbak-mbak setempat untuk memastikan jalan. Tapi, tidak untuk hari itu. Ini menjadi masalah selanjutnya.

Kami tersesat. Karena begitu masuk Kecamatan Padang Batung, koneksi internet perlahan menarik diri. Tanpa kami sadari, Mbak Google turut serta. Gmaps tanpa Mbak Google dan koneksi internet akan kebingungan menunjukkan jalan, dan kami tersesatkan.

Jauh, desa demi desa kami lewati, hingga jalan proyek Haji Isam, hutan, yang bukannya ke Sungai yang kami cari melainkan semakin menanjak naik. Adzan zhuhur berkumandang saat kami masih dalam perjalanan turun-naik jalan pedesaan. Kami memutuskan jamak ta`khir.

Sampai kami tiba di desa selanjutnya. Tak ada tanda-tanda air. Hari sudah menunjukkan pukul 14.00 WITA. Barulah kami sadar, Mbak Google sudah tidak bersama kami. We lost! Putar balik, tentu saja. Aku masih sangat ingat jalan kembali, karena memang jalannya tidak banyak bercabang. Tak berniat mencari sungainya lagi, karena pemandangan di perjalanan pun sudah cukup menyegarkan, kami memutuskan untuk langsung pulang.

Jalan sebenarnya ternyata, begitu memasuki Padang Batung, jalannya lurus saja. Kesalahan Mbak Google tanpa koneksi internet adalah menyuruh kami belok kanan (ke arah jembatan besi dan berantai). Harusnya, di persimpangan ini kami tetap mengambil jalan lurus.

Pelajarannya: gimanapun, jangan menyimpang. Tetaplah di jalan yang lurus. *ga gituu

Ini cuma muqaddimah. Benar-benar banyak pelajaran yang kami dapat dari ketersesatan perjalanan kemarin, dimulai dari nahas yg sempat kusinggung tadi. To be continued.

Share: